
Muatan Pada Pasal 16A dan Pasal 16B di Revisi UU Polri Akan Tumpang Tindih Dengan Lembaga Terkait
Radar-Nusantara | -Laksdya TNI (Purn) Sulaeman Pontoh, mantan Ka BAIS TNI menyoroti muatan pada Pasal 16A dan Pasal 16B di revisi UU Polri. Muatan itu dinilai akan tumpang tindih dengan lembaga terkait.
Pada, Pasal 16A salah satunya disebutkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas Intelkam Polri berwenang untuk melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen;
Selain itu, melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing. Hal ini guna mengamankan kepentingan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sementara, pada Pasal 16B disebutkan Intelkam Polri berhak meminta bahan keterangan kepada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lainnya. Lalu, pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi.
“Untuk 16A, 16B itu bukan hanya koneksi tumpang tindih, betul dia akan tumpang tindih dengan BAIS, BIN, kejaksaan dan lain-lain tapi yang paling mendasar disitu kita melegalkan pelaksanaan operasi intelijen secara hukum, yang selama ini operasi intelijen itu dilarang secara hukum ya secara hukum dilarang,” ucap Ponto dalam diskusi bertajuk ‘Dampak Kewenangan Revisi UU TNI dan Revisi UU Polri Terhadap Ruang Demokrasi dan Ruang Kebebasan Berekspresi’ di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis, (4/7/2024).
“UUD 1945 dan revisi UU Polri ini paradoks,” sambung Soleman Ponto.
Harusnya sebagai negara demokrasi dimana keberadaan negara adalah karena kesepakatan kehendak rakyat untuk mewujudkan kepentingan rakyat, melalui aturan hukum yang harus ditegakkan, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pembuatan UU dan segala aspeknya wajib untuk dikaji kemanfaatannya untuk rakyat
Oleh karena itu GeMOI Centre (Gerakan Muliakan Orang Indonesia) sangat mendukung upaya upaya masyarakat dalam memberikan saran masukan untuk pembuatan/revisi UU.
Oleh karenanya RUU POLRI perlu direvisi, sekaligus memberi kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi sebelum diputuskan menjadi UU, agar kelak tidak tumpang tindih kewenangan yang berpotensi timbulnya disharmoni dan/atau konflik tugas sesama Lembaga Negara. Dan yang terpenting adalah apakah RUU POLRI tersebut dapat menjawab soalan mendasar praktek marak mafia hukum yang berakibat pada penderitaan rakyat selama ini, atau malah akan memperparah penderitaan? Jangan lagi Rakyat yang berjumlah 280 Juta lebih ini dijadikan obyek percobaan gagasan elit ala “Indon” yang validitas kebenarannya belum teruji secara teori dan praktek apalagi tidak ada contoh di negara lain di dunia ini. Karena, ketika gagal yang nanggung rakyat banyak.
Menyoal hal itu, GeMOI menyampaikan permohonan kepada Presiden Jokowi untuk tidak mengirim RUU POLRI tersebut ke DPR RI, guna memberi kesempatan kepada publik dan akademisi untuk berpartisipasi, kecuali pasal perpanjangan umur pensiun
dan kesejahteraan anggota POLRI itu silahkan disegerakan.
GeMOI Centre menilai POLRI adalah salah satu Obyek Vital yang menjadi sasaran yang sangat berpengaruh terhadap upaya peningkatan kualitas penegakan hukum di Indonesia. POLRI adalah salah satu ujung tombak negara demokrasi, memiliki peran sentral dalam mengisi kemerdekaan dalam bentuk menjaga tatanan Sosial dan Hukum di dalam bermasyarakat yang salah satunya adalah menegakkan keadilan dan penegakan hukum, sehingga tercapai kedamaian, ketentraman menuju kesejahteraan rakyat Indonesia. Akan tetapi realitanya, sangat diperlukan ekstra kerja keras untuk memperbaiki seluruh tatanan sistem penegakan hukum di Indonesia. Partisipasi masyarakat sebagai warga hukum yang baik juga turut mensukseskan Indonesia sebagai negara hukum yang bersih dan adil. Hukum itu benar atau salah bukan ragu-ragu. Rakyat dibela karena benar dan takut karena salah.
GeMOI Centre melihat tak dipungkiri banyaknya pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli, maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil. Namun sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan. Bahwa hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena terindikasi praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, polisi diperalat oligarki, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini.
Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihinakan, bukan tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu
berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa. Bahwa dengan kata lain, situasi ketidakadilan atau kegagalan mewujudkan keadilan melalui hukum menjadi salah satu titik masalah yang harus segera ditangani dan negara harus sudah memiliki blue-print untuk dapat mewujudkan seperti apa yang dicita-citakan pendiri bangsa ini.
Akan tetapi mental dan moral yang merusak serta sikap mengabaikan atau tidak hormat terhadap sistim hukum dan tujuan kepastian hukum pada bangsa Indonesia yang memiliki tatanan hukum yang baik, adalah melakukan pembenahan dan penataan
terhadap sistem hukum yang ada. Sebagai masyarakat Indonesia, negeri ini sangat butuh penegakkan hukum yang adil dan tegas. Tidak ada diskriminasi dalam penegakannya, masyarakat Indonesia begitu haus akan adanya penegakan hukum
yang adil.
Bahwasanya adalah menjadi tugas dan tanggung jawab dari setiap warga masyarakat khususnya para penggiat hukum, pejabat lembaga peradilan dan pemerhati yang bertanggung jawab kepada Bangsa, Negara dan Tuhan Yang Maha Esa untuk dengan berani, jujur, dan bertanggung jawab berdasarkan Undang-undang memberikan
nasehat dan bantuan hukum baik diluar maupun dimuka pengadilan kepada setiap orang yang memerlukan, yang didorong oleh hati nurani yang tulus dan iklas dengan mencurahkan segenap keahliannnya yang didasarkan pada ilmu pengetahuan hukum yang sah menurut Undang-undang Dasar 1945.
Untuk itu sebagai bentuk partisipasi
dalam pembangunan menegakkan Hukum, Keadilan dan Kebenaran sesuai dengan hakekat dari pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi landasan dari Negara Republik Indonesia yang berdaulat dan demokratis, maka GeMOI Bidang
HUKUM berpartisipasi aktif untuk memberikan dan mengembalikan kepercayaan seluruh masyarakat Indonesia terhadap Lembaga Peradilan beserta Lembaga Penegak Hukum lainnya.
Berlatar belakang itu, beberapa wakil rakyat di bidang hukum bersama masyarakat korban ketidakadilan bergabung dalam GeMOI Bidang Hukum bertujuan memberikan sumbangsih solusi kiranya sistem hukum di Indonesia dievalusasi dan diadakan perubahan mendasar agar proses peradilan dan produk putusan pengadilan dapat ditingkatkan menjadi lebih bermutu dan benar-benar menjamin keadilan dari pada
yang ada sekarang, kita mesti memperbaiki kondisi-kondisi untuk menjamin independensi peradilan secara benar dan memperbaiki sistem peradilan yang menjamin mutu putusan lembaga hukum dengan menerapkan penegakan hukum yang berkeadilan serta kepastian hukum.

Banyak masukan, aduan, permohonan bantuan yang masuk ke GeMOI Centre karena banyaknya pendzaliman, penyelewengan, penyelundupan, jual-beli pasal dalam praktek hukum di NKRI. Fakta bahwa banyak sekali para penegak hukum yang dirinya terbelenggu oleh mafia, karena dibesarkan/disekolahkan/bahkan mejadi jongos dan alat mafia, sebagaimana telah sangat mendalam diulas oleh Prof. Jeffrey Winters (USA) dan Prof. Vedi Hadiz (Australia) tentang reformasi yang dirampok oleh oligarki selama 25 tahun belakangan ini sejak jaman reformasi.
Majelis Hakim disumpah untuk menegakkan keadilan di muka bumi mewakili Tuhan YME untuk memutus perkara dengan azas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Ketika ketiga unsur tersebut justru tidak terpenuhi, artinya tidak menghadirkan keadilan (karena justru hukum dipakai untuk merekayasa kasus dan mengkriminalisasi warga tak bersalah), kepastian hukum justru menjadi barang
permainan (dengan adanya hal kecil/sepele yang dipanjang-panjangkan), dan azas kemanfaatan amat jelas untuk kepentingan tameng bisnis illegal mafia di berbagai bidang (artinya sama dengan kemudaratan untuk ratusan warga yang sedang memperjuangkan hak-hak perdatanya yang diinja-injak oleh mafia oligarki dengan cara yang sudah terkenal, yaitu memperalat polisi, mengatur dan mengendalikan hakim, membayar politisi dan wakil rakyat bahkan petinggi di kabinet, dan lainnya.
Diantaranya bisa dilihat di ruang-ruang persidangan. Walau disajikan dengan bahasa normatif hukum yang sulit dipahami oleh masyarakat awam, dengan teori-teori dan dalil-dalil yang seakan rumit, namun jangan dikira rakyat awam tidak paham atas
sesuatu kelalaian/kekhilafan/kesengajaan/ketidakberanian melawan mafia hukum
yang beresiko untuk diri sendiri dan/atau bahkan adanya jual beli perkara untuk kepentingan tertentu (pesanan), sebab rakyat memiliki hati nurani keadilan, melalui gelombang energi kejujuran dan dukungan alam semesta yang menjadi mata bathin
yang bisa dirasakan, keadilan bukan sekedar pembenaran yang diilmiahkan melalui jual-beli pasal dan permainan kalimat-kalimat.Prof. Noam Chomsky sudah lengkap secara Panjang lebar membedah dan mengulas permainan Bahasa yang digunakan untuk menindas yang lemah.
KOMPOLNAS yang diwakili oleh Dr. Yusuf Warsim, S.Ag, S.H., M.H menyampaikan pernah mengusulkan kepada Presiden untuk menambah kewenangan POLRI secara khusus dalam kaitan kewenangan dibidang Siber karena kebutuhan kekinian yang
harus dimiliki POLRI, dan kesetaraan hak Anggota POLRI dengan Aparatur Negara lainya khususnya dalam soal batas usia pensiun. Dijelaskan pula, bahwa RUU POLRI yang sedang dibahasnya adalah Hak Inisiatif DPR RI, dan dari Naskah Akademiknya dapat diketahui bahwa latar belakang diajukannya RUU tersebut adalah karena kebutuhan hukum sesuai dengan tuntutan kemajuan jaman dan tuntutan tugas POLRI kekinian. Namun, hal mana belum dielaborasi secara mendalam serta dibedah dalam kerangka filsafat negara demokrasi arti pertahanan dan keamanan yang dimaksud. Sehingga terjadi campur-aduk tanpa kejelasan makna yang dapat menimbulkan multiintrepretasi dalam pelaksanaannya dan kembali lagi disitu peran individu-individu menjadi muncul dan dominan.
Asosiasi Doktor Hukum Indonesia diwakili oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan menjelaskan bahwa RUU POLRI diperlukan untuk mempertegas pemahaman tentang HANKAM yang semestinya adalah dua unsur yang bisa dipilah tetapi tidak bisa dipisah. Persoalannya UUD sudah memisah antar keduanya, sehingga diperlukan
pemahaman keamanan di era kekinian, karena pada dasarnya pemangku kekuasaan haruslah dilengkapi dengan kewenangan yang memadai, namun dalam proses pembentukan UU, mutlak harus melibatkan partisipasi Publik, karena begitu menjadi UU akan mengikat segenap rakyat dan juga penyelenggara negara.
Laksdya TNI (Purn) Sulaeman Pontoh, mantan Ka BAIS TNI, menjelaskan bahwa tambahan kewenangan POLRI dalam RUU tentang pengertian Keamanan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 7 RUU POLRI, memiliki dampak ikutan yang fatal. Pada penambahan kewenangan POLRI dalam pasal tersebut akan membuat POLRI menangani Keamanan yang bersumber dari Hakikat Ancaman yang
datang dari luar negeri. Di negara manapun di dunia ini ada Polisi dengan
kewenangan untuk menangani keamanan yang berasal dari Hakikat Ancaman yang datangnya dari luar negeri.
Lebih lanjut sejumlah pakar tata-negara dan pakar ilmu sosial politik mempertanyakan dalam negara demokrasi semua rancangan UU harus terlebih dahulu didasarkan pada
kajian apakah kepentingan rakat yang akan terbantu oleh terbitnya aturan tersebut.
Dipertanyakan, Betulkah saat ini rakyat membutuhkan agar POLRI mendapat penambahan kewenangan dengan merambah ke yuridikasi hukum yang telah menjadi kewenangan Lembaga Negara lainnya seperti TNI, BIN, BSSN, dan lain-lainnya. Bukankah.kebutuhan hukum yang saat ini harus segera dibikin adalah UU Keamanan Nasional,karena sang “Anak” dalam hal ini UU TNI dan UU POLRI lebih dahulu lahir,mendahului kelahiran “Orang tua” nya. Sementara yang dibutuhkan oleh POLRI sendiri adalah soal kesejahteraan anggota dan perpanjang usia pension.
Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi, SE, MM, MBA, mantan ASTER KASAD dan
anggota Tim Perumus Reformasi ABRI menyampaikan bahwa dalam konsep
Reformasi Internal ABRI paham keamanan sudah diubah secara mendasar, yakni transisi dari negara otoriter menjadi negara demokrasi, yang mensyaratkan adanya pemahaman Keamanan sebagai output dari sistem sipil yang berlandaskan hukum sebagai pilar demokrasi. Bukan lagi TNI/POLRI sebagai alat negara untuk menjaga keamanan. Kalau hukum tegak maka outputnya adalah rakyat aman dan damai.
Kalau hukum amburadul, maka itu salah satu tolok ukur kegagalan sebagai negara demokrasi, Karenanya bila terjadi masalah keamanan yang menyelesaikan terlebih dahulu adalah aparatur sipil dengan cara-cara sipil (beradab) termasuk POLRI; Tapi
begitu gagal atau bakal gagal atau dipastikan bakal jatuh korban maka saat itu beralih menjadi tugas TNI. Analoginya seperti tubuh manusia, POLRI adalah darah merah
dan TNI adalah darah putih kalau dalam dunia Kedokteran. Berangkat dari pengalaman generasi pendahulunya, Saurip Kadi bertanya: “Apakah Koes Plus yang dipenjara, gara-gara menyanyi, secara hukum, salah?”; “Apakah Orba dengan konsep Dwi Fungsi ABRI, secara hukum, salah?”; Dan “Apakah marginalisasi anak keturunan PKI dengan Surat Keterangan Bersih Lingkungan, secara hukum, salah?”.
Disisi lain, apakah “Tool” pengelolaan negara yang dibikin di era Bung Karno dan juga era Pak Harto sesuai dengan Pancasila serta tujuan dan cita-cita didirikannya NKRI.
Apakah hal-hal semacam itu akan dibiarkan dan terus berlanjut dengan model-model sejenis Cuma beda modus?
JOHN LOCKE, sang pencipta Trias Politica, mengatakan bahwa “HUKUM tanpa MORAL adalah NERAKA”. Inilah yang sedang dialami oleh NKRI. Sebab tidak hanya bagaimana CAPITAL VIOLENCE memperalat STATE APPARATUS untuk melakukan STATE TERRORISM dan karena hukum adalah hitam putih, konsekuensinya warganegara yang justru berjuang menegakkan UU yang terlibat didalamnya, justru dikriminalisasi (ditangkap, ditahan, dijadikan TERSANGKA, bahkan sampai ada yang
diadili selama 6 tahun sampai Kasasi dengan Pasal-pasal karet yang bisa diolor-olor seakan-akan ilmiah padahal INTI kejahatan bukan disitu dan tidak tersentuh), bahkan WAKTU dalam berperkarapun menjadi ALAT untuk menguntungkan pihak Pemesan
(Pemberi Job Order) untuk merugikan rakyat yang seharusnya dilindungi UU.
Sehingga rakyat hanya bisa berharap kepada Hukum KARMA (HUKUM ALAM/
SUNATULLAH) tetap akan berlaku bagi siapapun.
Ton