
Peradi Cetus Kontroversi: Usul Hapus Keterangan Ahli dan Bukti Petunjuk dari RUU KUHAP
Radar-Nusantara | Jakarta Ketua Harian Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) R. Dwiyanto Prihartono didampingi ketua bidang humas Peradi Riri Purbasari Dewi dan sejumlah pihak hadir mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), dengan Komisi III DPR, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Dalam rapat dengar pendapat ini Komisi III mendengarkan masukan terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang masih dalam pembahasan di DPR.
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengusulkan agar keterangan ahli dan bukti petunjuk dihapus dalam RUU KUHAP. Peradi menilai keterangan ahli cukup disampaikan dalam bentuk tertulis.
Hal itu disampaikan Waketum Peradi Sapriyanto Refa dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks parlemen Senayan. Supriyanto Refa mengusulkan RUU KUHAP hanya mengatur empat alat bukti.
“Terkait alat bukti, kami hanya menawarkan atau mengajukan hanya empat alat bukti, yang pertama keterangan saksi, yang kedua bukti surat,” ujarnya.
“Yang ketiga kita tidak bisa menghindari bahwa elektronik adalah sesuatu yang merupakan suatu kemajuan dalam dunia digital, yaitu perlu bukti elektronik, selanjutnya keterangan terdakwa,” sambungnya.
Menurutnya, bukti petunjuk dan keterangan ahli sebaiknya dihapuskan. Dia mengatakan bukti petunjuk dinilai sangat berbahaya lantaran dapat dijadikan untuk meyakini hakim.
“Bukti petunjuk dan keterangan ahli kami mengusulkan untuk dihapuskan. Bukti petunjuk ini sangat berbahaya karena bukti petunjuk ini adalah sebuah alat bukti yang akan digunakan dalam rangka menambah keyakinan hakim, ketika alat bukti yang lain tidak menunjukkan siapa pelakunya, maka bukti petunjuk berbahaya ini,” jelas Supriyanto Refa.
Karenanya, dia menyebut penyidik harus mencari alat bukti sendiri untuk menemukan pelaku. Dia menekankan penyidik tidak dapat hanya bergantung pada bukti petunjuk.
“Karena kalau petunjuk itu bisa lebih luas dan bisa disalahgunakan, ketika hakim menjadikan petunjuk ini sebagai alat satu-satunya untuk menghukum orang, di samping alat bukti yang lain, ketika alat bukti yang lain tidak mampu menunjukkan siapa pelakunya, lalu bukti petunjuk inilah yang digunakan,” katanya.
Lebih lanjut, Supriyanto Refa mengatakan keterangan ahli pun harus dihapus dalam RUU KUHAP sebagai bagian dari alat bukti. Menurutnya, selama ini keterangan ahli hanya dipertimbangkan dari jaksa penuntut umum (JPU). Sedangkan, dari penasihat hukum tak pernah dipertimbangkan.
“Kami ahli ini memang agak sedikit bisa dikatakan kecewa ya, ahli ini tidak ada kejelasan. Ketika kita menangani suatu perkara pidana kalau ahli itu diajukan oleh penyidik, oleh penuntut umum, itu pasti diterima oleh hakim,” ungkapnya.
“Tapi ketika ahli diajukan oleh penasihat hukum, pasti tidak diterima. Kalaupun diterima itu biasanya ada kepentingan ketika dia ingin membenarkan baru diambil, tapi ketika dia tidak membenarkan itu tidak diambil,” lanjut Supriyanto Refa.
“Karena itu, kalau kemudian dalam penanganan sebuah perkara pidana memerlukan ahli, cukup dia memberikan keterangan tertulis, yang akhirnya menjadi bukti surat, tidak perlu dihadirkan di persidangan,” tuturnya.
“Karena itu tadi, hakim tidak terikat dengan keterangan ahli, tapi biasanya tidak terikat dengan keterangan ahli yang diajukan oleh penasehat hukum. Tapi kalau keterangan ahli yang diajukan oleh penuntut umum itu biasanya diterima, ini kan ada serasa ketidakadilan,” tutup Supriyanto Refa
[Sedney]