Kisruh Hukum di Balik Nama Besar Blue Bird: Mintarsih A. Latief Bongkar Kejanggalan Proses Peradilan
Radar-Nusantara| Jakarta — Perseteruan hukum internal di tubuh perusahaan taksi ternama, PT Blue Bird Taxi, kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, persoalan bukan sekadar sengketa korporasi, melainkan dugaan penyimpangan serius dalam proses eksekusi hukum yang melibatkan nama besar keluarga pendiri perusahaan tersebut.
Mintarsih A. Latief, yang dikenal sebagai salah satu pendiri Blue Bird, menilai bahwa pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait perkara perdata antara dirinya dan Purnomo Prawiro telah bergeser jauh dari substansi hukum yang sebenarnya.
Menurut Mintarsih, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) diduga melakukan langkah yang tidak lazim dengan memperluas amar putusan Mahkamah Agung—hingga melibatkan anak-anaknya yang tidak pernah tercantum sebagai pihak dalam perkara.
Dari Gugatan Internal ke Dugaan Ketidakadilan
Sengketa bermula lebih dari satu dekade lalu, saat Purnomo Prawiro menggugat Mintarsih melalui perkara Nomor 313/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. Dalam gugatannya, Purnomo menuding Mintarsih menerima gaji tanpa dasar pekerjaan yang sah dan menuntut pengembalian seluruh honor yang diterima.
Namun, Mintarsih menyebut gugatan tersebut sebagai “peradilan sesat”, karena diajukan tanpa persetujuan seluruh pemegang saham—sebuah pelanggaran terhadap prinsip dasar korporasi.
Ia juga menilai tuduhan tersebut sangat lemah, sebab hanya bertumpu pada satu kesaksian dari sekretaris pribadi Purnomo, Diana Novari Dewi, tanpa dukungan bukti audit atau dokumen resmi.
Dalam persidangan, Mintarsih menghadirkan lima mantan karyawan Blue Bird yang bersaksi bahwa dirinya justru aktif menjalankan operasional perusahaan, mulai dari sistem administrasi hingga rekrutmen sopir. Bahkan, dalam naskah putusan PN Jaksel, tercatat bahwa para direktur lain, termasuk Purnomo dan Chandra, “hanya hadir beberapa jam per hari di kantor pusat”.
Putusan MA dan Perluasan Amar yang Dipersoalkan
Mahkamah Agung kemudian memutuskan perkara tersebut melalui Putusan Nomor 2601 K/Pdt/2015, yang menghukum Mintarsih untuk membayar denda sebesar Rp140 miliar. Namun, babak baru muncul saat PN Jaksel menjalankan eksekusi putusan tersebut.
Pihak Mintarsih menemukan sejumlah kejanggalan dalam tahapan eksekusi, di antaranya:
1. Pelibatan Ahli Waris Tanpa Dasar Hukum
PN Jaksel, melalui Surat Teguran No. 23/Eks.Pdt/2024, memanggil anak-anak Mintarsih untuk hadir dalam eksekusi, padahal nama mereka tidak tercantum dalam amar putusan MA. Langkah ini dianggap sebagai pelanggaran prinsip dasar hukum perdata.
2. Sita Eksekusi Tiba-Tiba
Pada 16 Desember 2024, PN Jaksel mengeluarkan surat pemberitahuan sita eksekusi hanya dua hari sebelum pelaksanaan. Pihak Mintarsih menilai tindakan itu tidak memberi kesempatan hukum yang wajar bagi pihak yang terdampak.
3. Pemblokiran Aset Tanpa Dasar Sita Jaminan
Lebih jauh, Mintarsih menuding adanya campur tangan pihak keluarga Purnomo, khususnya Sri Adriyani Lestari, yang disebut mengajukan pemblokiran tanah milik Mintarsih di Badan Pertanahan Nasional (BPN) tanpa adanya amar sita jaminan dalam putusan.
Langkah Hukum Lanjutan: Mintarsih Ajukan PK
Merasa dirugikan secara hukum dan moral, Mintarsih kini menempuh Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Ia berharap langkah ini menjadi jalan untuk mengoreksi praktik peradilan yang dianggap menyimpang dari asas keadilan.
“Saya tidak hanya memperjuangkan hak pribadi, tetapi juga menegakkan marwah hukum agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang berkuasa atau berpengaruh,” ujar Mintarsih dalam pernyataannya di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Ia menegaskan bahwa dirinya dan keluarga sama sekali tidak pantas dijadikan sasaran eksekusi tambahan yang tidak diatur dalam putusan final MA.
“Anak-anak saya tidak pernah menjadi pihak dalam perkara, tetapi kini ikut dipanggil dan disita. Ini bukan hanya salah hukum, tetapi juga bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” ujarnya tegas.
Isyarat Akan Ungkap Dugaan Penggelapan Saham
Tak berhenti di situ, Mintarsih juga menyatakan siap membeberkan dugaan praktik penggelapan saham dan manipulasi kepemilikan di internal PT Blue Bird dan PT Blue Bird Taxi yang menurutnya selama ini ditutupi dari publik.
“Saya akan buka semua, bagaimana saham bisa berpindah tangan tanpa sepengetahuan pemilik aslinya. Ini bukan hanya soal saya, tapi tentang kebenaran dan transparansi di perusahaan besar yang menjadi ikon transportasi nasional,” ungkapnya.
Seruan Moral
Kasus Mintarsih kini mendapat perhatian dari sejumlah kalangan hukum dan masyarakat sipil. Banyak pihak menilai bahwa fenomena perluasan amar putusan tanpa dasar hukum dapat menjadi preseden buruk bagi dunia peradilan Indonesia.
Mintarsih pun mengajak publik dan komunitas hukum untuk ikut mengawasi jalannya PK yang sedang diajukan.
“Keadilan itu seharusnya tidak bisa dibeli atau dimanipulasi. Saya percaya masih ada hakim yang punya nurani dan keberanian menegakkan hukum yang sebenarnya,” pungkasnya.
Refleksi: Cermin Retak Dunia Peradilan
Kasus ini menjadi cerminan bagaimana konflik internal perusahaan keluarga besar bisa berkembang menjadi drama panjang hukum nasional. Di tengah kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang sering goyah, kisah Mintarsih A. Latief menjadi ujian bagi integritas sistem hukum Indonesia.
Apakah keadilan akan kembali pada tempatnya, atau justru tenggelam di balik kekuasaan dan pengaruh korporasi besar — publik kini menanti jawabannya di meja Mahkamah Agung.
(Reporter: Sedney)
